Oke, setelah kita nemu jalurnya, kita kira udah deket ni tujuan kita, tapi ternyata, astagaaaaaa masih jauuuhhhhh.... Kita ngelewatin tempat - tempat semacam perkebunan, hutan yang letaknya di perbukitan. Kita naik tururn ni ceritanya. Kalo jalanan naiknya biasa aja sih, okelah, tapi ini??? Tinggi.. tinggi.. sekali.. ( Nah, lo jadi nyanyi kan ). Paling keren tu udah nanjak tinggi, kita mesti berhenti di tengah, gegara ada penebangan pohon, kita mesti nunggu dulu ni. Tapi, yang keren tu, meski lewat perbukitan yang tingiiii, lagi sepiiiii, pemandangannya kece.
Yang lebih bikin kita agak kaget ni, di seberang atau di atas bukit itu masih ada satu perkampungan lagi. Ini ni yang bikin mikir ( kalo pengen ke kecamatan butuh waktu berapa lama? Trus pasarnya di mana ?). Menurut perkiraan kita ni, ni kampung adalah kampung paling selatan di Manyaran ( kalo kita ga salah arah ). Sayangnya, lupa nama ni kampung. Nah, dari kampung terakhir ini, dengan terpaksa kita ga bisa nerusin perjalanan pake mobil. Mobilnya kita titipin di rumah warga, dan kita? Ikhlasin aja jalan kaki. Ahahahaha.
Oke, kata warga setempat : naik aja 200 m, terus belok kiri, kira-kira 300 m, sampai di Banyu Tibo. Iya sih, 200 m naiknya, tapi kalo nanjaknya lumayan, plus kita lagi puasa, ya butuh tenaga ekstra. Habis tu kita belok kiri, awalnya ngira kalo jalanannya agak lebar, tapi ternyata????? Itu jalan sempit, cuma buat 1 orang, selebar pematang sawah. Ya, cuma selebar pematang sawah, karena memang yang kita lewati pematang - pematang sawah. Dan, untuk mencapai tujuan, kita harus memutari bukit yang memang dipakai untuk area persawahan. Harus hati - hati melewati jalan ini, karena sebelah kiri berupa sawah yang dibuat menurun, semacam sengkedan. Kalo musim hujan, pasti jalanannya licin, jadi harus ekstra hati - hati.
Jalan belok ke lokasi dari jalan utama |
Jalan setapak yang harus dilewati |
Sawah di lereng |
Sempat ragu - ragu apakah tujuan kita benar, kita tanya lagi sama salah satu petani yang masih ada di sana. Jalan lagi kita... Setelah sampai, kita harus turun sampai di tempat yang kita tuju, sekali lagi, harus hati - hati. Bahkan, kita harus lepas alas kaki, karena takut tergelincir. Hihihihi
Sayangnya, karena lagi musim kemarau, air terjunnya surut, tinggal tetes-tetesan aja. Kurang keren sih, tapi lumayan kok pemandangannya, letaknya di lembah, dengan beberapa batu besar. Berada di sini seakan kita dikurung , jauh dari peradaban ( cieeee ). Pas kita turun ternyata hari udah sore, sekitar jam 5. Jadi di bawah kita cuma sebentar aja, habis tu naik lagi. Keburu maghrib.
Sarannya sih, kalo ke sini, stelah musim penghujan, memasuki musim kemarau. Masih ada airnya, tapi jalanannya ga terlalu licin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar